Wednesday, March 7, 2007

Damai Natal Sebuah Ironi

Perang Dunia ke – 2 lagi berkecamuk hebat di tengah musim dingin yang menusuk tulang. Suhu udara mencapai 30 derajat Celcius dibawah nol (bayangin kalo kalo es mulai membeku pada suhu 5 derajat di atas nol). Di perbukitan pedalaman Perancis, tentara Jerman (yang waktu itu dijadikan musuh bersama dengan Hitlernya yang terkenal itu) berhadapan langsung dengan lawannya tentara Amerika, siap dengan senjata yang terisi penuh buat membantai lawan msin-masing. Jarak mereka Cuma beberapa puluh meter saja, dipisahkan sama parti-parit penjagaan yang digali sambil merayap oleh dua pasukan yang sedang berperang. Dua pasukan yang kelelahan , kedinginan dan sudah pasti stress berat itu, sejak beberapa hari sudah saling bantai. Nggak heran, kalo masing-masing mereka harus tega tidur di sisi mayat temannya yang membeku. Udara dingin memang membantu mereka untuk satu hal : mayat-mayat tidak akan membusuk dan menebar ‘kesulitan’ lain.

Udara malam kian menusuk dan ketegangan kian memuncak. Tampaknya, tinggal menunggu siapa yang paling nekat buat keluar dari paritnya dan melakukan serangan bunuh diri. Tapi, tunggu!! Tiba-tiba... entah suara dari mana, di hening malam, sayup-sayup terdengar lagu Malam Kudus. Nggak salah lagi. Hari ini adalah malam Natal. Para prajurit yang saling bertikai itu pun bertukar pandang dengan ragu. Perlahan namun pasti, entah kepercayaan diri dari mana, mereka membuang senajata dan keluar dari persembunyian, berdiri tepat di hadapan lawannya. Tentara Amerika kemudian bernyanyi, Silent Night, Holy Night.. dan tentara Jerman ikut melengkapi koor itu dengan bahasa mereka sendiri...Stille Nacht, Heilige Nacth... Rupanya, malam itu tanggal 24 Desember. Para serdadu yang tadinya buas itu tiba-tiba menjadi ’anak domba’. Mereka saling berangkulan, ngasih ucapan selamat penuh rasa haru bahkan saling tukar makanan kaleng bekal perang dan tentu saja, dengan hikmat menguburkan rekan mereka yang tewas. Nggak ada senjata, nggak ada kebencian. Damai Natal memenuhi udara malam.

Keesokan harinya, 25 Desember, dua kubu tersebut merayakan natal bersama dengan bermain sepak bola. Nggak ada kesebelasan Jerman atau kesebelasan Amerika. Mereka berbaur dan membentuk ’tim gabungan’. Mereka bersukaria dan tertawa-tawa sepanjang hari. Sekali lagi, indahnya Damai Natal. Tapi, menjelang malam saat mereka sedang menikmati kelelahan dengan damai, tiba-tiba radio berbunyi. Pasukan masing-masing diperintahkan buat siaga lagi. Secepat kilat prajurit itu kembali meraih senapan tempurnya dan kembali terjun ke parit perlindungan. Mereka kembali berhadapan sebagai musuh yang siap membunuh. Damai Natal tiba-tiba berubah menjadi angkara murka. Sebuah ironi Natal yang terus terjadi dari waktu ke waktu.....